KH M Iskandar Chang I Po: MUI Harus Jadi Mitra Pemerintah dan Pelayan Umat
LDII JATENG, SEMARANG — Dalam forum Silaturrahim Kebangsaan Jilid V DPW LDII Jawa Tengah yang digelar secara hybrid dari Hotel Santika Premier, Semarang (Sabtu, 26 Juli 2025), KH M. Iskandar Chang I Po—pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sekaligus tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah—menyampaikan refleksi mendalam tentang dua peran utama MUI di tengah dinamika kehidupan kebangsaan Indonesia.
Menurut KH Iskandar Chang I Po, MUI bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga mitra strategis negara dalam menjaga harmoni sosial dan nilai-nilai kebangsaan.
“MUI tidak sekadar mendukung pemerintah, tapi juga memberi kontribusi positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Sebagai mitra, MUI berperan aktif memberikan masukan keagamaan yang konstruktif terhadap kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan moralitas, akidah, dan kesejahteraan umat.
Apa Peran MUI dalam Melayani dan Melindungi Umat?
Selain sebagai mitra pemerintah, MUI juga menjalankan fungsi pelayanan keagamaan lintas organisasi, tanpa memandang afiliasi atau latar belakang ormas.
“MUI melindungi umat dari akidah yang menyimpang, akhlak yang buruk, transaksi ekonomi yang merusak, dan produk-produk yang tidak halal,” jelasnya.
Perlindungan yang dimaksud mencakup aspek spiritual, etika, hingga ekonomi umat. MUI diharapkan hadir sebagai pengayom bagi semua umat Islam—baik dari LDII, Muhammadiyah, NU, maupun ormas-ormas lain—agar bisa berjalan bersama dalam kerukunan dan moderasi beragama.
KH Iskandar menjelaskan bahwa perbedaan pandangan dalam tubuh umat Islam adalah hal yang alamiah.
Bahkan, ketika terjadi friksi antarorganisasi, MUI diharapkan menjadi penengah yang memperkuat kedua belah pihak.
“Kalau ada friksi, jangan jadi perpecahan. Justru itu harus dijalankan untuk saling menguatkan,” ucapnya.
Ia mengutip pendekatan antropologis tentang bagaimana laki-laki sebagai entitas sosial memiliki kecenderungan menyikapi konflik secara strategis.
Menurutnya, konflik yang sehat justru bisa menguatkan solidaritas, selama dikelola dengan prinsip musyawarah dan keadilan.
Bagaimana MUI Memahami Dinamika Fatwa dan Pilihan Hukum?
KH Iskandar juga menyinggung bahwa dalam tradisi Islam, fatwa tidak selalu bersifat mutlak, melainkan bagian dari diskursus pilihan hukum (ikhtilaf).
“Fatwa itu ada yang sifatnya keputusan hukum, ada juga yang sebagai pilihan hukum. Maka wajar jika diterima atau ditolak,” ujarnya.
Ia mengajak umat untuk tidak kaget atau mudah menjustifikasi jika suatu fatwa tidak sepenuhnya diikuti masyarakat.
Sebab dalam kerangka negara hukum seperti Indonesia, keberadaan organisasi tetap sah sepanjang belum ada putusan hukum yang menyatakannya sebaliknya.
MUI Menjadi Payung Moderasi di Tengah Kebhinekaan?
Sebagai lembaga yang sudah eksis lebih dari 50 tahun, MUI dinilai memiliki pengalaman panjang dalam merespons isu-isu sosial-keagamaan.
Dalam masyarakat yang majemuk, keberadaan MUI tidak boleh berpihak pada kepentingan golongan, tapi menjadi rumah bersama yang merangkul seluruh umat.
KH Iskandar juga mengingatkan bahwa tantangan ke depan makin kompleks, terutama dalam isu-isu digital, sosial ekonomi, dan polarisasi politik identitas. Oleh karena itu, keberadaan MUI harus tetap menjadi kompas moral bangsa—yang tidak hanya mengutip teks agama, tapi juga membaca konteks zaman secara bijak.
Dalam sambutannya, KH M. Iskandar Chang I Po menekankan bahwa Majelis Ulama Indonesia memiliki dua tugas penting: sebagai mitra negara dan pelayan umat.
MUI bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga penjaga nilai-nilai kebangsaan, etika sosial, dan harmoni umat beragama. Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, peran MUI diharapkan tetap adaptif, moderat, dan inklusif—demi menjaga keutuhan NKRI dan membina umat dalam bingkai persatuan. (Lines Jateng)