Media Massa Menuju Otoritarianisme Baru?

Berita Nasional Headlines
ilustrasi: businesstopia.net

Oleh Ludhy Cahyana*

 

Dalam buku-buku mengenai demokrasi, pers menduduki tempat yang istimewa sebagai salah satu dari empat tiang emokrasi. Filsuf Jerman Jurgen Habermas yang memperkenalkan demokrasi deliberatif, mengemukakan pentingnya ruang publik yang netral, tempat para warga beradu argumen.

Ruang publik yang dimaksud adalah media massa dan media sosial. Keduanya harus bebas dan tak boleh dimonopoli kebenarannya. Tidak boleh juga ditindak secara represif bila terdapat pendapat-pendapat yang kritis ke arah penguasa. Alhasil, demokrasi deliberatif menuntut pers yang bebas.

Lalu, pertanyaan kritisnya, apakah pada era demokrasi pers bisa bebas? Bisa bersuara makin lantang? Kian variatif atau seragam? Atau kian berkualitas seiring dengan kuantitasnya makin banyak?

Mari mendedah realitas sosial untuk menjawab satu per satu pertanyaan itu. Apakah pers makin bebas pada era demokrasi? Tidak juga. Hal ini disebabkan adanya oligarki, sebagian kecil orang yang sangat berkuasa. Fenomena oligarki merupakan sekian dari anomali demokrasi.

Oligarki muncul, karena biaya demokrasi yang tinggi bagi seorang aktor memaksanya mencari sponsor. Dari sinilah pintu masuk para oligark, yang biasanya juga memiliki media massa. Para oligark leluasa mengatur pemberitaan, karena tak ada lagi sekat atau firewall antara redaksi dan pemilik modal — pengusaha yang menjadi oligark. Mereka menyensor berita yang merugikan dirinya dan penguasa.

Di sini, jelaslah demokrasi tak mampu menjamin kebebasa pers. Bahkan, kepentingan bisnis membuat pers menjadi partisan bukan karena urusan ideologi, tapi hanya persoalan bisnis belaka. Otomatis, pada era demokrasi sekalipun pers tak bisa bersuara lantang, karena pemilik modal yang jadi sponsor penguasa. Atau, perusahaan media tak akan mendapat iklan dari pemerintah atau perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor penguasa.

Selanjutnya, benarkah pada era demokrasi pers kian variatif? Belum tentu juga. Saat angin Reformasi bertiup kencang di tanah air ini, pada era Presiden Habibie, terbit 1.700-an Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Lalu berapa jumlah media resmi atau berbadan hukum saat ini?

Secara signifikan jumlah penerbitan baru bertambah. Dalam masa setahun pemerintahan di era Habibie, diterbitkan 1700 SIUPP baru. Pada 2018, angka itu membiak menjadi 47.000 media.

Dari sisi jumlah, memang besar. Namun terdapat fenomena unik, yakni konglomerasi media. Konglomerasi media adalah perusahaan media raksasa, yang biasanya menguasai berbagai macam jenis media, dari televisi, cetak, online, bahkan percetakan tersendiri. Pada awal tahun 2000, media-media bermodal besar membentuk konglomerasi, dengan membeli media-media lokal. Akibatnya, media-media di kota kecil menjadi keluarga besar para perusahaan media yang ada di ibu kota.

Konglomerasi menguntungkan dua belah pihak. Media kecil berhasil selamat atas kerugian dan memperoleh berita level atas langsung dari pusat pemerintahan dan bisnis. Sementara media induknya memiliki asupan informasi lokal dan tentu saja pertambahan pemasukan dari iklan. Inilah yang kerap disebut sebagai news network. Akibatnya mudah ditebak, meskipun jumlah media makin banyak namun isi pemberitaan tidak variatif, bahkan relatif sama.

Selanjutnya bagaimana soal kualitas? Kabar baiknya, media massa di kota-kota ketiga (kabupaten/kota) yang bergabung dengan konglomerasi, diharuskan mengikuti standar kerja dan reportase media yang menjadi induknya. Dengan demikian penyajian berita mereka juga kian bagus. Sebaliknya, bila media yang menjadi induk mereka terkenal karena kualitasnya yang buruk, media-media di daerah ini juga bakal tak meningkat kualitasnya. Apalagi media induknya memiliki akurasi yang kurang oke, bisa dipastikan media-media satu grupnya juga jatuh reputasinya.

Keseragaman informasi dan ketertundukan media kepada penguasa yang semuanya diciptakan oleh oligark, menjerumuskan media sebagai pendukung penguasa. Dengan begitu, media pada era demokrasi tidak sepenuhnya bebas. Bahkan cenderung menjadi ikut otoriter, sejalan dengan cara berpikir penguasa.

Pada sisi lain, penguasa tak tinggal diam. Dengan mengkoordinir simpatisan, selebritas media sosial, dan akademisi, mereka menciptakan argumen-argumen untuk melawan para oposan. Bila semuanya bergerak secara alami, ini hanya sebuah pertarungan wacana di ruang publik. Namun bila terstruktur dan terkoordinasi, melibatkan robot dunia maya, atau mematikan akun-akun oposisi, bisa diartikan penguasa kian otoriter saja.

*Penulis adalah Ketua Departemen Komunikasi, Informasi dan Media (KIM) DPP LDII

Sumber -Kompasiana.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.