KUHAP Peninggalan Belanda Layak Diganti, Prof Singgih: Cenderung Berubah Tafsir Sesuai Kepentingan

Berita Nasional
Foto oleh Sora Shimazaki: https://www.pexels.com/id-id/foto/skala-penilaian-dan-palu-di-kantor-hakim-5669602/

SEMARANG, suaramerdeka.com – Ketua Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Jateng yang juga Guru Besar Sejarah Undip Prof Singgih Tri Sulistiyono mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) peninggalan kolonial Belanda yang dipakai Indonesia perlu diganti dengan RKUHP dengan beberapa catatan.

Pertama, KUHAP yang diterapkan kolonial Belanda cenderung satir, beberapa pasal dalam undang-undang tersebut potensial menjadi pasal karet.

Prof Singgih menjelaskan, KUHAP peninggalan kolonial Belanda tersebut dapat melentur dan padat sesuai dengan kepentingan yang ada.

“Selain itu multi tafsir bagi masyarakat dengan pemerintah kolonial Belanda yang merasa punya hak dan wewenang untuk menegakkan keamanan dan ketertiban pada waktu itu,” kata Prof Singgih Tri Sulistiyono kepada suaramerdeka.com, Senin 29 Agustus 2022.

Sehingga, kata Prof Singgih definisi mengenai gangguan terhadap ketertiban umum, kemudian penyampaian pendapat yang bisa menghasut untuk melawan kepada pemerintah kolonial menjadi sangat subjektif, menurut cara pandang penguasa.

Maka, tidak berlebihan jika pasal-pasal yang ada dalam KUHAP peninggalan kolonial Belanda seperti pasal karet, tergantung dari siapa penguasanya.

“Ini menjadi alat yang ampuh bagi pemerintah kolonial Belanda saat itu untuk menegakkan kekuasaan sesuai dengan kepentingannya,” terangnya.

Menurutnya, ada tindakan-tindakan yang mungkin menurut masyarakat menjadi hak rakyat, tapi bisa saja diinterpretasikan (ditafsirkan) secara berbeda oleh pemerintah kolonial Belanda yang memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Dalam konteks penjajahan, pemerintah kolonial Belanda ingin terus melanggengkan kekuasaannya.

“Gubernur Jenderal De Jonge pada tahun 1930 an berkata kita sudah berkuasa selama 350 tahun di Indonesia dan masih akan berkuasa 300 tahun lagi. Caranya bagaimana? Ya dengan menegakkan KUHP dengan pasal-pasal karet,” kata Prof Singgih.

Kedua, para faunding fathers bersepakat setelah Indonesia merdeka tidak ingin membangun negara Indonesia ini berdasarkan feodalisme, diktatorships juga tidak. Apalagi pemerintahan model kolonial Belanda.***

Leave a Reply

Your email address will not be published.