Jakarta (4/2). Saling serang para tokoh di media sosial mengundang keprihatinan DPP LDII. Pasalnya, saling serang dengan muatan politik tersebut, sudah melewati area paling sensitif dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Media sosial kini menjurus pada perilaku nirakhlak yang dipertontonkan ke publik. Meskipun bangsa ini direkatkan oleh Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, namun komentar yang menyerang SARA sangat disayangkan,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Menurut Chriswanto, wajah media sosial akhir-akhir ini tak mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang menghargai perbedaan, toleran, tenggang rasa, dan tepo seliro serta gotong-royong. Seharusnya, lanjut Chriswanto, semua pihak terutama para politisi dan para buzzer yang berafiliasi dengan kepentingan tertentu, menyadari kebangsaan Indonesia tak bersifat natural atau alamiah.
“Nasionalisme kita bukan seperti nasionalisme Jerman ataupun bangsa-bangsa Skandinavia yang disatukan oleh kesamaan bahasa dan suku. Indonesia menyatu karena perasaan senasib sebagai bangsa yang dijajah, ditindas, dan dihina,” kata Chriswanto. Suku-suku bangsa di Nusantara yang kini membangun Indonesia, memiliki perbedaan yang bila diusik rentan menciptakan disintegrasi.
Chriswanto menukil pesan Bung Karno, bahwa bangsa Indonesia membutuhkan nation building, sebuah proses panjang yang harus dipelihara, dirawat, dirangsang, dibimbing, dan diemong, “Namun, dalam 10 tahun terakhir, kepribadian bangsa Indonesia mendapat ancaman dari media sosial. Penggunaan media sosial yang tak bijak, makin menghilangkan karakter bangsa yang berjiwa gotong royong itu,”katanya.
Dalam kasus buzzer, menurut Chriswanto, mereka memainkan berbagai isu agar daya nalar kritis masyarakat menjadi tumpul. Sementara mereka yang bergerak atas nama ideologi, terus-menerus membombardir ruang publik dalam media sosial dengan kebenaran yang tunggal. Tak ada ruang bagi ideologi yang lain.
Jadi, tak mengherankan ujaran kebencian bahkan yang menyerang SARA menjadi pemandangan yang rutin dalam media sosial. Sementara, mereka yang kritis-konstruktif, aspiratif, dan mengedukasi mulai terpinggir. Semua itu, atas nama kemerdekaan berpendapat dan bersuara yang melalaikan hak asasi publik untuk mendapatkan sesuatu yang positif dalam media sosial. Inilah yang menjadi tantangan disintegrasi bangsa, yang harus diwaspadai seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, praktisi telematika Lukman A. Fatah mengatakan, agar masyarakat tak mudah membagikan atau sharing, hal-hal yang merusak kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa, “Dalam media sosial cek ricek sangat lemah, apalagi dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, dalam Al Quran diajarkan supaya berita itu di-tabayun atau dicek lagi kebenarannya,” papar Lukman yang juga Ketua DPP LDII.
Ia mengatakan, bila cek dan ricek telah dilakukan, hal lain adalah memikirkan kembali, manfaat dari penyebaran informasi tersebut, “Manfaat dan mudarat sebelum sharing informasi harus dilakukan meskipun mengetahui informasi tersebut adalah benar,” ujar Lukman.
Menurutnya, sikap ingin menjadi orang pertama yang tahu atau ingin jadi yang awal menyebarkan informasi, dengan tanpa mempertimbangkan baik-buruknya jika informasi itu tersebar bukanlah sifat yang terpuji. Hal itu, bisa memicu disintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, menanggapi pendengung atau buzzer sebaiknya diabaikan, “Pendengung yang dengungannya diabaikan, nanti diam sendiri,” timpalnya.
Menurut Chriswanto, disintegrasi bangsa Indonesia pada masa lalu dipicu oleh ketidakpuasan dan perasaan terpinggirkan. Sehingga pada awal kemerdekaan Indonesia, terjadi pemberontakan di beberapa wilayah, “Kini ancaman disintegrasi dipicu oleh serangan terhadap hal yang paling sensitif yakni SARA, yang memicu pula rasa terpinggirkan dan ketidakadilan,” tutupnya. [*/]